Minggu, 29 Juni 2008

Teknik Penulisan Karangan Ilmiah

TEKNIK PENULISAN KARANGAN ILMIAH


EDUKATIF BLOG
TEKNIK PENULISAN KARANGAN ILMIAH

A. PENGANTAR

Jika kita akan belajar penulisan dalam karangan ilmiah, maka terlebih dahulu kita harus tahu (1) apa itu karangan, (2) apa itu ilmiah, (3) apa itu karangan ilmiah, dan (4) apa itu penulisan dalam karangan ilmiah.


1. Hakikat Karangan
Karangan pada hakikatnya merupakan karya tulis yang berupa bangunan bahasa, yang berisi ide/gagasan tertentu. Dari pengertian ini, ada 3 hal penting yang terkandung dalam pengertian karangan, yaitu (a) tulisan, (b) bahasa, (c) ide/gagasan

2. Ilmiah
Perbincangan tentang apa itu ilmiah tidak bias dilepaskan dari perbincangan tentang hakikat pengetahuan. Pengetahuan merupakan hasil dari aktivitas tahu. Pengetahuan berbeda dengan pengalaman (hasil dari aktivitas mengalami). Aktivitas tahu dapat diperoleh dengan dua cara: (a) melalui intuisi/perasaan, dan (b) melalui proses berpikir.

Hasil aktivitas tahu yang diperoleh melalui intuisi/perasaan bersifat intuitif, yang dalam pengertian Jawa sering diistilahkan dengan ‘ngelmu’. Sedangkan hasil aktivitas tahu yang diperoleh melalui proses berpikir akan menghasilkan pengetahuan diskursif.

Pengetahuan diskursif dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

(a) bersifat biasa yang diperoleh melalui proses berpikir yang biasa-biasa saja. Ciri-cirinya: praktis (berguna dalam hidup sehari-hari) dan tidak mendalam (tidak tahu proses penciptaannya/sebab musababnya). Pengetahuan ini diperoleh dari pengalaman, sehingga menjadi pengetahuan praktis/biasa saja.

(b) bersifat ilmiah. Pengetahuan ini diperoleh melalui proses berpikir ilmiah. Ciri proses berpikir ilmiah antara lain:
• bertujuan untuk menemukan kebenaran
• kebenaran tersebut harus sesuai antara konsep dengan faktanya
• hubungan antara pernyataan dengan kenyataan bersifat logis

Adapun syarat proses berpikir dikatakan ilmiah adalah
a. ada objek (hal yang dipikirkan) yang dikhususkan. Misal:
  • Fakta alamiah -- muncul ILMU ALAMIAH
    seperti: Biologi, Fisika, Kimia, Geologi, Geodesi, Astronomi, Kosmologi, dll
  • Fakta sosial -- muncul ILMU SOSIAL
    seperti : Sosiologi, Sejarah, Ekonomi, dll
  • Fakta manusia -- muncul ILMU HUMANIORA
    seperti: Filsafat manusia, Anatomi, Psikologi, Sastra, dll.

b. harus ada metodenya (cara untuk mencapai kebenaran)
Tuntutan metodologis inilah yang kemudian melahirkan ‘teori’ (kebenaran yang universal) sebagai acuan dalam berpikir.

c. harus sistematis (berpikir secara lurus/logis)
Hasil dari proses berpikir secara ilmiah inilah yang disebut dengan ilmu
pengetahuan ilmiah.

Dengan demikian, ilmiah adalah proses berpikir yang bersifat diskursif yang memiliki ciri (a) bertujuan menemukan kebenaran, (b) kebenaran tersebut harus sesuai antara konsep dengan faktanya, dan (c) hubungan antara pernyataan dengan kenyataan bersifat logis; serta memiliki syarat-syarat: (a) harus memiliki objek, (b) harus memiliki metode, dan (c) harus sistematis.

3. Karangan Ilmiah

Dengan demikian, karangan ilmiah adalah hasil proses berpikir ilmiah yang ditulis Dengan kata lain, karangan ilmiah adalah karangan hasil berpikir ilmiah yang di dalamnya mencerminkan ciri ilmu pengetahuan.

Suatu karangan dapat dikatakan ilmiah jika memenuhi empat syarat, yaitu:
a. Isi - berisi masalah ilmu pengetahuan
b. Penulisan - disusun menurut sistematika/penulisan ilmiah
c. Teknik Penyusunan - menurut teknik penulisan karangan ilmiah
d. Bahasa - disusun dengan bahasa ilmu (bahasa yang dipakai dalam ilmu pengetahuan)

Berdasarkan cara penyajian dan sasaran pembacanya, karangan ilmiah dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Karangan ilmiah populer
  • yaitu karangan ilmiah yang disusun dengan sistematika penyajian yang populer/merakyat; dari sudut pembaca: dapat dipahami masyarakat umum.
  • teknik penyusunan, sistematika, dan bahasa - populer, isi: ilmiah.
  • contoh: buku petunjuk tentang cara-cara tertentu, psikologi populer, artikel surat kabar.

b. Karangan ilmiah akademis
  • disusun berdasarkan 4 syarat karangan ilmiah
  • karangan jenis ini disusun oleh masyarakat ilmiah Dan ditujukan untuk masyarakat ilmiah yang tertentu pula (pelajar, mahasiswa, ilmuwan, cendikiawan)
  • masyarakat awam/umum sukar memahami

Ciri karangan ilmiah

Jika di atas telah dipaparkan empat syarat suatu karangan disebut ilmiah, maka berikut ini akan dipaparkan empat ciri karangan ilmiah. Ke-4 ciri tersebut adalah:

a. Isi mencerminkan hakikat ilmu pengetahuan/objek ilmu tertentu
b. Mengandung teori/semacam kerangka berpikir
c. Ada metodenya (cara mencari dan menemukan kebenaran)
d. mengandung penulisan

4. Penulisan Dalam Karangan Ilmiah

Penulisan dalam suatu karangan ilmiah mencakup 5 aspek/matra. Kelima aspek tersebut adalah:

a. Aspek keterkaitan
Aspek keterkaitan adalah hubungan antarbagian yang satu dengan yang lain dalam suatu karangan. Artinya, bagian-bagian dalam karangan ilmiah harus berkaitan satu sama lain. Pada pendahuluan misalnya, antara latar belakang masalah – rumusan masalah – tujuan – dan manfaat harus berkaitan. Rumusan masalah juga harus berkaitan dengan bagian landasan teori, harus berkaitan dengan pembahasan, dan harus berkaitan juga dengan kesimpulan.

b. Aspek urutan
Aspek urutan adalah pola urutan tentang suatru yang harus didahulukan/ditampilkan kemudian (dari hal yang paling mendasar ke hal yang bersifat pengembangan). Suatu karangan ilmiah harus mengikuti urutan pola pikir tertentu.
Pada bagian Pendahuluan, dipaparkan dasar-dasar berpikir secara umum. Landasan teori merupakan paparan kerangka analisis yang akan dipakai untuk membahas. Baru setelah itu persoalan dibahas secara detail dan lengkap. Di akhir pembahasan disajikan kesimpulan atas pembahasan sekaligus sebagai penutup karangan ilmiah

c. Aspek argumentasi
Yaitu bagaimana hubungan bagian yang menyatakan fakta, analisis terhadap fakta, pembuktian suatu pernyataan, dan kesimpulan dari hal yang telah dibuktikan. Hampir sebagian besar isi karangan ilmiah menyajikan argumen-argumen mengapa masalah tersebut perlu dibahas (pendahuluan), pendapat-pendapat/temuan-temuan dalam analisis harus memuat argumen-argumen yang lengkap dan mendalam.

d. Aspek teknik penyusunan
yaitu bagaimana pola penyusunan yang dipakai, apakah digunakan secara konsisten. Karangan ilmiah harus disusun dengan pola penyusunan tertentu, dan teknik ini bersifat baku dan universal. Untuk itu pemahaman terhadap teknik penyusunan karangan ilmiah merupakan syarat multak yang harus dipenuhi jika orang akan menyusun karangan ilmiah.

e. Aspek bahasa
yaitu bagaimana penggunaan bahasa dalam karangan tersebut? baik dan benar? Baku? Karangan ilmiah disusun dengan bahasa yang baik, benar dan ilmiah. Penggunaan bahasa yang tidak tepat justru akan mengurangi kadar keilmiahan suatu karya sastra lebih-lebih untuk karangan ilmiah akademis.
Beberapa ciri bahasa ilmiah: kalimat pasif, sebisa mungkin menghindari kata ganti diri (saya, kami, kita), susunan kalimat efektif/hindari kalimat-kalimat dengan klausa-klausa yang panjang.

Berikut ini secara sederhana akan dipaparkan bagaimana menulis karangan ilmiah yang mencakup bagian-bagian yang harus ada dalam sebuah karangan, yaitu: (a) pendahuluan, (b) karangka berpikir/landasan teori/tinjauan pustaka sebagai acuan untuk membahas sesuatu; (c) penyajian hasil pembahasan atas masalah yang telah dirumuskan; dan (d) bagian penutup; menyangkut proses penulisannya.

Suatu karangan—sesederhana—apapun akan mencerminkan kualitas penulisan seseorang. Penulisan itu akan tampak dalam pola pikir penyusuan karangan itu sendiri.

a. Pendahuluan

Tujuan utama dari pendahuluan adalah menarik perhatian pembaca atas masalah yang akan dibicarakan, memusatkan perhatian pembaca terhadap masalah yang akan dibicarakan, dan menunjukkan dasar berpikir dari uraian itu.
Untuk itu, sebuah pendahuluan sekurang-kurangnya harus mengandung:

1) Latar belakang Masalah
  • Berisi segala hal yang melatarbelakangi mengapa suatu topik perlu ditulis/diteliti/ dibicarakan.
  • Mengapa topik itu penting untuk dibicarakan/dibahas
  • Jika mungkin ilustrasikan sejauh mana topik itu pernah dibahas oleh penulis lain dan apa istimewanya pembahasan yang akan Anda lakukan.
  • Tulislah semua itu didukung dengan data-data/argumen-argumen dalam paragraf-paragraf yang baik.
2) Rumusan Masalah
  • Berisi butir-butir persoalan yang akan dicari pemecahannya/dibicarakan dalam karangan ilmiah itu.
  • Dirumuskan dalam kalimat tanya
  • Pertanyaan harus sistematis.
  • Dasar dari perumusan masalah ini adalah segala hal yang telah diuraikan dalam latar latar belakang masalah dan judul/topik karangan/penelitian.
3) Tujuan Penulisan/Penelitian
  • Tujuan adalah hal yang akan dicapai lewat tulisan/penelitian yang akan dilakukan.
  • Berisi rumusan hal-hal yang akan dicapai lewat penelitian/penulisan karangan itu.
  • Disusun berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah (jika rumusan masalah 2 maka tujuan juga 2)
  • Rumusan tujuan harus bersifat tinjauan dan dapat diukur, (misal: mendeskripsikan, menganalisis, membandingkan, mencari hubungan)
4) Manfaat Penelitian/Penulisan
  • Manfaat adalah hal yang dapat diperoleh dari penulisan/penelitian yang dilakukan
  • Manfaat berkaitan dengan hal yang dapat diperoleh oleh: (a) penulis/peneliti, (b) orang yang membaca, (c) pihak-pihak lain yang berkaitan dengan penulisan/penelitian itu.
  • Manfaat harus realistis dan dapat diukur
5) Ruang Lingkup Penulisan/Penelitian
  • Berisi pembatasan permasalahn yang akan dibicarakan/diteliti, agar tidak terlalu luas
  • Pembatasan ini juga berfungsi untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan di luar hal yang dibicarakan/diteliti
6) Sistematika Penyajian
  • Berisi sistematika/urutan hal-hal apa saja yang akan dibicarakan dalam tulisan tersebut.
  • Diuraikan secara umum/pokok-pokoknya saja.
b. Landasan Teori/Tinjauan Pustaka

Jika penulisan Anda bertendensi menyajikan sesuatu yang baru, maka yang bisa Anda pilih adalah landasan teori. Artinya, berangkat dari teori-teori yang pernah ada (mungkin tidak tepat/sesuai benar dengan topik Anda) tetapi membantu pembahasan Anda. Tetapi jika hasil tulisan/penelitian Anda berupa teori baru, maka yang lebih tepat dipakai adalah tinjauan pustaka. Artinya, Anda perlu mengkomparasikan/membandingkan dan mendeskripsikan berbagai macam teori tantang satu hal yang sama, sehingga tendensi hasil tulisan/penelitian Anda akan melengkapi/memperbaiki/justru membantah teori yang pernah ada.
Sekedar catatan tambahan; jika yang Anda lakukan adalah penelitian maka sebelum Landasan Teori /Tinjauan Pustaka ini perlu ada METODOLOGI PENELITIAN. Tetapi mengingat yang kita bicarakan sekarang ini adalah penulisan karangan ilmiah yang SEDERHANA, metodologi penelitian tidak akan dibicarakan!
  • Landasan teori merupakan garis-garis pokok yang akan dijadikan pedoman untuk membahas masalah yang telah Anda rumuskan dalam Pendahuluan
  • Teori dipilih berdasarkan topik yang akan ditulis/diteliti.
  • Teori bermanfaat untuk menuntun cara kerja/alat untuk memahami objek penulisan/penelitian (pisau analisis)
  • Teori dapat diperoleh dari:
  • Membuat konklusi/kesimpulan dari berbagai
    pendapat/sumber
  • Mengambil/mengadaptasi beberapa teori yang sudah ada dengan
    pertimbangan tertentu
  • Berbagai buku/referensi (suratkabar/majalah/internet) yang
    membahasa hal sesuai dengan topik tulisan Anda
  • Teori BUKAN menyalin/mengkopi buku/sumber, tetapi membahasakan kembali sumber teori dengan bahasa Anda sendiri. Sehingga tanggung jawab atas kebenaran teori itu adalah tanggung jawab Anda sendiri sebagai penulis/peneliti
  • Untuk menjamin keilmiahan, sumber yang Anda acu harus dicantumkan
c. Pembahasan
  • Berdasarkan teori yang telah Anda susun, mulailah pembahasan atas masalah yang akan Anda cari pemecahannya.
  • Dasar dari pembahasan adalah rumusan masalah yang telah Anda rumuskan dalam Pendahuluan
  • Dengan kata lain, pembahasan adalah jawaban dari rumusan masalah secara terurai dan detail, lengkap dengan bukti-bukti dan alasan-alasan.
  • Buat uraian dalam pembahasan secara sistematis dan mudah dipahami.
d. Penutupan
  • Berisi kesimpulan atas pembahasan yang telah Anda lakukan. Jika pembahasan kita maknai sebagai jawaban rumusan masalah secara detail dan terurai; maka kesimpulan adalah jawaban rumusan masalah secara singkat/umum.
  • Penutupan juga berisi SARAN yang dapat Anda kemukakan sehubungan dengan pembahasan yang telah Anda lakukan.
  • Saran juga bisa diberikan kepada orang yang akan menulis/meneliti lebih lanjut topik yang sudah Anda bahas.
  • Saran juga bisa berupa rekomendasi/usulan bagi pihak-pihak yang terkait dengan topik penulisan/penelitian Anda.
e. Daftar Pustaka/Bibliografi
  • Daftar pustaka berisi segala buku/referensi yang Anda acu selama melakukan penulisan/penelitian.
  • Daftar pustaka ditulis dengan sistematika tertentu. Untuk kali ini, mengingat materi ini sudah cukup rumit; maka teknik penulisan daftar pustaka akan diberikan pada kesempatan yang lain.
  • Daftar pustaka HANYA berisi referensi yang BENAR-BENAR Anda acu. Jangan menulis referensi yang tidak BENAR-BENAR Anda acu!
B. PENUTUP

Uraian di atas adalah penulisan/cara pikir tentang karangan ilmiah. Hal-hal yang dibicarakan adalah: tentang sesuatu disebut karangan, sesuatu disebut ilmiah, konsep suatu karangan dikatakan ilmiah, dan bagaimana urutan/sistematika berpikir orang menulis karangan ilmiah.
Semoga bermanfaat
Sumber : www.ary-education.blogspot.com

TEKNIK PENULISAN KARANGAN ILMIAH

Senin, 02 Juni 2008

Sejarah Masuknya Hukum Islam

SEJARAH MASUKNYA HUKUM ISLAM


EDUKATIF. Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air –misalnya-, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam secara khusus- untuk menentukan strategi
yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di Tanah air, namun setidaknya apa akan Penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini. Pada bagian akhir tulisan ini, Penulis juga menyampaikan kesimpulan tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh kaum muslimin Indonesia untuk –apa yang Penulis sebut dengan- “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Wallahu a’la wa a’lam!

Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda

Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi.[1] Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.[2]
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut –sebagaimana tercatat dalam sejarah- itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.[3] Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.

Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda

Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.[4]
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
1. Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.[5]
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.[6]
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut:
1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.[7]
2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.[8]
3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat). [9]
4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.[10]
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.

Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang


Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.[11]
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.[12]
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.[13]
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,
Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.[14]

Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)

Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam.[15] Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.[16]
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.[17]
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima –satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary –bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.[18]
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan,
Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.[19]
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950.

Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia –yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.[20]
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.

Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan.[21] “Kelebihan” lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950.[22] Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional.[23] Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.[24]
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majlis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan –menurut Anwar Harjono- lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.[25] Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya negara-boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar –apa yang mereka sebut dengan- “kesadaran teologis-politis”nya.[26]

Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru

Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI[28] kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.[29]
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.[30] Lalu bagaimana dengan hukum Islam?

Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya –menurut Hazairin- hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.[31]
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan.[32] Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.[33]

Hukum Islam di Era Reformasi

Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.[34]
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.[35]

Penutup

Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara cerdas dan bijaksana. Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan kema’rufan Islam.[36]
Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang selama ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri, dalam sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu tujuan dan cita-cita. Wallahu a’lam.

SEJARAH MASUKNYA HUKUM ISLAM

Dasar-dasar Filsafat Ilmu Pendidikan

Dasar-dasar Filsafat Ilmu Pendidikan


EDUKATIF. Baiklah sekarang kita lihat dasar-dasaar filsafah keilmuan terkait dalam arti dasar ontologis, dasar epistemologis, dan aksiologis, dan dasar antropolgis ilmu pendidikan.

Dasar ontologis ilmu pendidikan

Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya)

Kata filsafat atau falsafah berasal dari perkataan yunani Philosophoa yang berarti cinta kebijaksanaan ( Philein = cinta, dan Sophia = Hikmah, kebijaksanaan). Ada yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Philos (keinginan) dan Sophia (hikmah, kebijaksanaan), dan ada juga yang mengatakan berasal dari kata Phila (mengutamakan, lebih suka) dan Sophia (hikmah, kebijaksanaan).’ Jadi kata filsafat berarti mencintai atau lebih suka atau keinginan kepada kebijaksanaan. Orangnya disebut philosophos yang dalam bahasa Arab disebut failasuf. Telah disebutkan diatas bahwa salah satu makna filsafat adalah phila (mengutamakan, lebih suka) dan Sophia/ (kebijaksanaan). Maka philosophia berarti (mengutamakan hikmah) dan Philosophos/ berarti (orang yang lebih suka terhadap hikmah). Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapi pada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribadi pula, terlepas dari faktor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya.

Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.

Penggunaan kata filsafah dalam hikmah

Fuad al-Ahwani menerangkan bahwa kebanyakan pengarang Arab menempatkan kata hikmah ditempat kata falsafah, dan menempatkan kata hakim ditempat kata filosof atau sebaliknya. Umgkapan senada juga disampaikan oleh Mustafa Abdul Raziq dalam kitabnya “Tahmid li tarikh al-falsafah al-islamiyah.

Apabila para filosof muslim menggunakan kata hikmah sebagai sinonim dari kata falsafah, fuqoha menggunakan kata hikmah sebagai julukan bagi asrar al-ahkam (rahasia-rahasia hokum). Demikian pula yang terjadi pada Imuhaqqiq dan mufassir. Mereka menganggap sepadan antara kata hikmah dengan kata falsafah. Al-Raghieb berkata:

Hikmah ialah memperoleh kebenaran dengan perantaraan ilmu dan akal.

Dasar epistemologis ilmu pendidikan.


Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekatan fenomenologis itu bersifat kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomena pendidikan maka validitas internal harus dijaga betul dalam berbagai bentuk penelitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebagai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hanya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963).

Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).

Filsafat hukum Islam

Telah jelas bagi kita apa itu filsafat, hikmat, illah, dan ilmu hukum islam. Kitapun telah dapat memahami perbedaan illah dengan hikmah hokum islam; illah hokum islam dapat ditemukan pada nash, sedangkan hikmahnya perlu digali dibelakang nash.

Dasar aksiologis ilmu pendidikan

Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di Indonesia. Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-satunya metode ilmiah (Kalr Perason,1990).

Menurut Azhar Basyir, filsafat hukum islam adalah pemikiran secara ilmiah , sistematis, dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang hukum islam . filsafat hukum islam merupakan anak sulung dari filsafat hukum islam.

Dengan rumusan lain, filsafat hukum islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan hukum islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya, atau filsafat yang digunkan untuk memancarkan, menguatkan, dan memelihara hukum islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah menetapkannya dimuka bumi, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya.

Dengan filsafat ini, hukum islam akan benar-benar”cocok sepanjang masa di semesta alam”.

Sesuai dengan watak filsafat, filsafat hukum islam berusaha menangani pertanyaan-pertanyaan fundamental secara ketat, konsepsional, metodis, koheren, sestematis, radikal, universal dan kemprehensif, rasional serta bertanggung jawab. Arti dari pertanggungjawaban ini adalah adanya kesiapan untuk memberikan jawaban yang objektif dan argumentative terhadap segala pertanyaan, sangkalan dan kritikan.

Dengan demikian, maka pada hakikatnya filsafat hukum islam bersikap kritis terhadap masalah-masalah. Jawaban-jawabannya tidak luput dari kritik lebih lanjut, sehingga ia dikatakan sebagai seni kritik, dalam arti tidak pernah merasa puas diri dalam mencari, tidak menganggap suatu jawaban sudah selesai, tetapi selalu bersedia bahkan senang membuka kembali perdebatan.

Menurut Azhar Basyir, filsafat hukum islam adalah pemikiran secara ilmiah , sistematis, dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang hukum islam . filsafat hukum islam merupakan anak sulung dari filsafat hukum islam.

Dengan rumusan lain, filsafat hukum islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan hukum islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya, atau filsafat yang digunkan untuk memancarkan, menguatkan, dan memelihara hukum islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah menetapkannya dimuka bumi, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Dengan filsafat ini, hukum islam akan benar-benar”cocok sepanjang masa di semesta alam”.

Sesuai dengan watak filsafat, filsafat hukum islam berusaha menangani pertanyaan-pertanyaan fundamental secara ketat, konsepsional, metodis, koheren, sestematis, radikal, universal dan kemprehensif, rasional serta bertanggung jawab. Arti dari pertanggungjawaban ini adalah adanya kesiapan untuk memberikan jawaban yang objektif dan argumentative terhadap segala pertanyaan, sangkalan dan kritikan.

Dengan demikian, maka pada hakikatnya filsafat hukum islam bersikap kritis terhadap masalah-masalah. Jawaban-jawabannya tidak luput dari kritik lebih lanjut, sehingga ia dikatakan sebagai seni kritik, dalam arti tidak pernah merasa puas diri dalam mencari, tidak menganggap suatu jawaban sudah selesai, tetapi selalu bersedia bahkan senang membuka kembali perdebatan.


Dasar antropologis ilmu pendidikan


Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalam upayanya belajar mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya

(1) sosialitas dan (2) individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurang-kurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa

Uraian diatas mengisyaratkan terhadap dasar-dasar pendidikan bahwa praktek pendidikan sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta empiris dan eksperimental akan tidak lengkap dan tidak memadai. Fakta pendidikan sebagai gejala sosial tentu sebatas sosialisasi dan itu sering beraspirasi daya serap kognitif dibawah 100 % (bahkan 60 %). Sedangkan pendidikan nilai-nilai akan menuntut siswa menyerap dan meresapi penghayatan 100 % melampaui tujuan-tujuan sosialisasi, mencapai internaliasasi (mikro) dan hendaknya juga enkulturasi (makro). Itulah perbedaan esensial antara pendidikan (yang menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif) dan kegiatan mengajar yang paling-paling menjalin aspek kognitif dan psikomotor. Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran sering terbatas targetnya pada aspek kognitif. Itu sebabnya diperlukan perbedaan ruang lingkup dalam teori antara pengajaran dengan mengajar dan mendidik. Adapun ketercapaian untuk daya serap internal mencapai 100 % diperlukn tolong menolong antara sesama manusia. Dalam hal ini tidak ada orang yang selalu sempurna melainkan bisa terjadi kemerosotan yang harus diimbangi dengan penyegaran dan kontrol sosial. Itulah segi interdependensi manusia dalam fenomena pendidikan yang memerlukan kontrol sosial apabila hendak mencegah penurunan pengamalan nilai dan norma dibawah 100%.

Para ahli ushul fiqh, sebagaimana ahli dfilsafathukum islam, membagi filsafat hukum islam kepada dua rumusan, yaitu falsafat tasyri dan falsafat syar’iyah.
Falsafat tasyri’

filsafat yang mancarkan hukum islam atau menguatkannya dan memeliharanya. Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat dan tujuan penetapan hukum islam, filsafat tasyri’ terbagi kepada :

a. da’im al-ahkam (dasar-dasar hukum islam)
b. mabadi al-ahkam (prinsip-prinsip hukum islam)
c. ushul al-ahkam ( pokok-pokok hukum islam) atau mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum islam)
d. maqashid al-ahkam (tujuan-tujuan hukum islam)
e. qawa’id al-ahkam (kaidah-kaidah hukum islam)


Falsafat syar’iyah

filsafat yang diungkapkan dari materi-materi hukum islam, seperti ibadah, mu’amalah, jinayah, uqubah, dan sebagainya. Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat dan rahasia hukum islam. Termasuk dalam pembagian falsafat syar’iyah adalah:
1. Asrar al-ahkam (rahasia-rahasia hukum islam)
2. kasha’is al-ahkam (cirri-ciri hukum islam)
3. mahasin al-ahkam atau mazaya al-ahkam (keutamaan-keutamaan hukum islam)
4. thawabi al-ahkam (karakteristik hukum islam)


Pedagogik sebagai ilmu murni menelaah fenomena pendidikan

Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogic (pendidikan anak) dan data andragogi (Pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data faktual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai (yang normative) tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafah. Tetapi tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu pendidikan tidak menganut aliran atau suatu filsafat tertentu.Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogic (teoritis) adalah ilmu yang menysusun teori dan konsep yang praktis serta positif sebab setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogic (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogic praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafah yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya.Implikasinya jelas bahwa batang tubuh (body of knowledge) ilmu pendidikan haruslah sekurang-kurangnya secara mikro mencakup

- Relasi sesama manusia sebagai pendidik dengan terdidik (person to person relationship)
- Pentingnya ilmu pendidikan memepergunakan metode fenomenologi secarakualitatif.
- Orang dewasa yang berperan sebagai pendidik (educator)
- Keberadaan anak manusia sebagai terdidik (learner, student)
- Tujaun pendidikan (educational aims and objectives)
- Tindakan dan proses pendidikan (educative process), dan
- Lingkungan dan lembaga pendidikan (educational institution)


Objek kajian kegunaan filsafat hukum Islam

Hukum islam mengacu pada pandangan hukum yang bersifat teologis. Artinya hukum islam itu diciptakan karena ia mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan dari adanya hukum islam adalh terciptanya kedamaian didunia dan kebahagiaan di akhirat. Jadi, hukum islam bukan bertujuan meraih kebahagiaan yang fana’ dan pendek didunia semata, tetapi juga mengarahkan kepada kebahagiaan yang kekal di akhirat kelak. Inilah yang membedakannya dengan hukum manusa yang menghendaki kedamaian di dunia saja.

Tujuan dari hukum islam tersebut merupakan manifestasi dari sifat Rahman dan Rahim (maha pengasih dan maha penyayang) Allah kepada semua makhluk-Nya. Rahmatan lil alamin adalah inti syar’iyah atau hukum islam. Dengan adanya syar’iyah tersebutdapat ditegakkan perdamaian dimuka bumi dengan pengaturan masyarakat yang memberikan keadilan kepada semua orang. Keadilan sangat mulia dimata tuhan, dan sifat adil merupakan jalan takwa setelah iman kepada Allah.

sedangkan telaah lingkup yang makro dan meso dari pendidikan, merupakan bidang telaah utama yang memperbedakan antara objek formal dari pedagogic dari ilmu pendidikan lainnya. Karena pedagogic tidak langsung membicarakan perbedaan antara pendidikan informal dalam keluarga dan dalam kelompok kecil lainnya, dengan pendidikan formal (dan non formal) dalam masyarakat dan negara, maka hal itu menjadi tugas dari andragogi dan cabang-cabang lain yang relevan dari ilmu pendidikan. Itu sebabnya dalam pedagogic terdapat pembicaraan tentang faktor pendidikan yang meliputi : (a) tujuan hidup, (b) landasan falsafah dan yuridis pendidikan, (c) pengelolaan pendidikan, (d) teori dan pengembangan kurikulum, (e) pengajaran dalam arti pembelajaran (instruction) yaitu pelaksanaan kurikulum dalam arti luas di lembaga formal dan non formal terkait.

Telaah ilmiah dan kontribusi ilmu bantu

Bidang masalah yang ditelaah oleh teori pendidikan sebagai ilmu ialah sekitar manuasia dan sesamanya yang memiliki kesamaan dan keragaman di dalam fenomena pendidikan. Yang menjadi inti ilmu pendidikan teoritis ialah Pedagogik sebagai ilmu mendidik yaitu mengenai tealaah (atau studi) pendidikan anak oleh orang dewasa. Pedagogik teoritis selalu bersifat sistematis karena harus lengkap problematik dan pembahasannya. Tetapi pendidikan (atau pedagogi) diperlukan juga oleh semua orang termasuk orang dewasa dan lanjut usia. Karena itu selain cabang pedagogic teoritis sistematis juga terdapat cabang-cabang pedagogic praktis, diantaranya pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal dalam keluarga, andragogi (pendidikan orang dewasa)

Kata filsafat atau falsafah berasal dari perkataan yunani Philosophoa yang berarti cinta kebijaksanaan ( Philein = cinta, dan Sophia = Hikmah, kebijaksanaan). Ada yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Philos (keinginan) dan Sophia (hikmah, kebijaksanaan), dan ada juga yang mengatakan berasal dari kata Phila (mengutamakan, lebih suka) dan Sophia (hikmah, kebijaksanaan).’ Jadi kata filsafat berarti mencintai atau lebih suka atau keinginan kepada kebijaksanaan. Orangnya disebut philosophos yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.

Dasar-dasar Filsafat Ilmu Pendidikan

Makalah Filsafat Pendidikan

Bentuk-Bentuk Kebijakan Makro Ekonomi

BENTUK-BENTUK KEBIJAKAN MAKRO EKONOMI

EDUKATIF | Diantara Kebijakan Makro Ekonomi adalah sebagai berikut:

Kebijakan dari segi/aspek permintaan/pengeluaran :

Kebijakan fiskal (Fiscal Policy) à yaitu kebijakan pemerintah yg. membuat perubahan dlm.bidang per-pajakan (T) & pengeluaran pemerintah (G) dng.tujuan untuk mempengaruhi pengeluaran/permintaan agregat dlm.perekonomian.
• Kebijakan moneter (Monetary Policy) à yaitu kebijakan pemerintah yg. dilaksanakan oleh Bank Sentral, untuk mempengaruhi (merubah) penawaran (supply) uang dlm.perekonomian atau merubah suku bunga, dng. tujuan untuk mempengaruhi pengeluaran / permintaan agregat dlm.perekonomian.


Kebijakan dari segi/aspek penawaran :

• Kebijakan pendapatan (Income Policy) à yaitu kebijakan pemerintah yg. dilaksanakan dng.tujuan untuk mengendalikan tuntutan kenaikan pendapatan pekerja.

• Melaksanakan usaha swastanisasi, dng.tujuan me-ningkatkan efisiensi.

Mendorong persaingan yg. lebih sempurna, dng. melakukan deregulasi berbagai aturan yg. dapat me-ngendalikan efek monopoli atau semi-monopoli yg. tidak efisien. Misal pemberian insentif oleh peme-rintah (berupa pengurangan pajak atau pembebasan pajak) dlm.rangka inovasi teknologi atau perbaikan mutu produksi.

Kebijakan fiskal (Fiscal Policy)

Menurut pandangan Keynes, kebijakan fiskal (Fiscal Policy) adalah sangat penting untuk mengatasi pengangguran.

Prosesnya à misal ;

– Pengurangan pajak penghasilan à akan menambah daya beli masyarakat & akan meningkatkan pengeluaran agregat.

– Peningkatan pengeluaran agregat dng. cara menaikkan pengeluaran pemerintah untuk pembelian brg. & jasa maupun untuk menambah investasi.

– Selanjutnya dlm.masa inflasi atau ketika kegiatan ekonomi telah full employment, langkah sebaliknya harus dilakukan yaitu ; pajak dinaikkan dan pengeluaran pemerintah akan dikurangi.

Langkah ini akan menurunkan pengeluaran/permintaan agregat dan mengurangi tekanan inflasi.

Secara garis besar berbagai jenis pajak yg. dipungut pemerintah dpt digolongkan sbb. :

• Pajak langsung à yaitu pajak/jenis pungutan pemerintah yg.secara langsung dikumpulkan dari wajib pajak, misal ; PPh.

Pajak tak langsung à yaitu pajak yg.beban pemungutannya dapat dipindah-tangankan kepada pihak lain, misal ; PPn, & PPn BM Pajak impor dsb.

Cara penggolongan pajak yg.lain yaitu :

• Pajak regresif à yaitu pajak yg.persentasi pungutan pajaknya menurun apabila pendapatan yg.dikenakan pajak menjadi bertambah tinggi.

Semakin tinggi pendapatan, semakin kecil persentase pajak tsb. dibandingkan dng.keseluruhan pendapatan

Contoh : beberapa pajak tak langsung, spt.: PPn, pajak tontonan/hiburan.

Misal ; ada 2 orang perokok ( Awang & Boim) masing-masing berpenghasilan Rp 1.000.000,- & Rp 600.000,oo sebulan.
Apabila masing-masing merokok dng. jumlah rokok yg.sama dlm.sebulan adalah 20 bungkus.

Harga rokok Rp 5000,- PPn = Rp 500,- maka jumlah pajak yg.harus dibayar oleh :

Awang adalah : Rp 500 x 20 = Rp 10.000 atau 1% saja dari penghasilannya yg. harus dibayar pajaknya.

Boim adalah : Rp 500 x 20 = Rp 10.000 atau 1,7% dari penghasilannya yg. harus dibayar pajaknya.

• Hal ini berarti bhw. semakin rendah lagi penghasilan seseorang maka akan semakin tinggi beban pajak yg.harus ditanggung oleh penghasilannya.

• Kondisi negara kita, nampak bhw.banyak masyarakat berpenghasilan rendah yg.merokok à dng.demikian dpt. diduga bhw. merekalah yg.banyak bayar PPn atas rokok. Bagaimana dng.komoditas yg. lain…..?

• Pajak proporsional à yaitu pajak yg.persentasi pungutan pajaknya tetap pada berbagai tingkat pendapatan, yaitu dari pendapatan yg. sangat rendah hingga yg.sangat tinggi. Misal ; PPh individu & Badan, PBB, dst.

Dlm. hal ini tidak dibedakan antara penduduk kaya & miskin, perusahaan besar & kecil, dst.

• Pajak progresif à yaitu pajak yang persentasi pungutan pajaknya semakin meningkat.

Misal : data hipotetis sbb.:

Nilai obyek kena pajak % tase pajak

– s/d Rp 500.000,oo 2%

– Rp 501.000 – Rp 2.000.000,oo 4%

– Rp 2001.000 – Rp 5.000.000,oo 10%

Lebih Rp 5.000.000,oo 20%

Kebijakan Fiskal Diskresioner

• Yaitu kebijakan pemerintah untuk merubah pengeluarannya atau pemungutan pajaknya dengan tujuan :

• Mengurangi gerak naik turun tingkat kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu.

• Menciptakan suatu kegiatan ekonomi yang mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (full employment) yg. tinggi, tidak menghadapi masalah inflasi & selalu mengalami pertumbuhan yg. memuaskan.

• Dari konsep ini dpt.dikemukakan bhw. terdapat dua macam alat yg.digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan kebijakan diskresioner, yaitu :

• Membuat perubahan-perubahan atas pengeluarannya

Membuat perubahan atas pajak yg.dipungutnya.

• Untuk mencapai tujuan pemerintah dlm.menjalankan kebijakan diskresioner, dapat dipilih salah satu atau beberapa perubahan berikut :

• Menaikkan pengeluaran tetapi tidak membuat perubahan apa-apa atas pajak yg. dipungut.

• Mempertahankan tingkat pengeluarannya tetapi menurunkan pajak yg.dipungut.

• Di satu pihak menaikkan pengeluarannya & di lain pihak menurunkan pajak yg. dipungut.

• Pengeluaran & pemungutan pajak dinaikkan & kenaikan tsb. sama besarnya. Tujuannya agar kebijakan ini mampu menjaga keseimbangan antara pendapatan & pengeluaran pemerintah.

Demikian pula perubahan-perubahan sebaliknya.

Pemerintah seringkali menghadapi masalah defisit anggaran. Ada beberapa sumber pembiayaan defisit anggaran :

• Pajak.

• Mencetak Uang Baru.

• Pinjaman Masyarakat Dalam Negeri.

• Pinjaman Masyarakat Luar Negeri.


Ary Anshorie | EDUKATIF Blog

BENTUK-BENTUK KEBIJAKAN MAKRO EKONOMI