Rabu, 10 Oktober 2012

Latar Belakang Tuntutan Reformasi Dan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945

TUNTUTAN REFORMASI DAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR



LATAR BELAKANG TUNTUTAN REFORMASI
DAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

A. LATAR BELAKANG REFORMASI


Telah kita ketahui bersama bahwa kehidupan masyarakat di era kepemimpinan Presiden Soeharto bagai memakan pil pahit kemerdekaan. Berbagai macam penderitaan telah dialami masyarakat, tak terkecuali pihak-pihak yang pro ataupun kontra terhadapnya. Selama 32 tahun sistem pemerintahan Bangsa Indonesia mengalami kepincangan hukum dan undang-undang oleh sebab ambisi dominasi dan hegemoni sang pemimpin yang terlampau meng-awan tinggi dan kesengsaraan yang dialami rakyat kala itu, maka terjadilah apa yang selama ini kita kenal dengan “Reformasi”. 

B. SEBAB-SEBAB TERJADINYA TUNTUTAN REFORMASI DAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Adapun latar belakang sebab musabab terjadinya Tuntutan Reformasi dan Perubahan UUD 45 adalah sebagai berikut : 


1. AMANDEMEN UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 

Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi ditangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil. 

Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR: 

- Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 ? Perubahan Pertama UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 ? Perubahan Kedua UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 ? Perubahan Ketiga UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 ? Perubahan Keempat UUD 1945

Tuntutan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang digulirkan oleh berbagai kalangan masyarakat dan kekuatan sosial politik didasarkan pada pandangan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM. Selain itu, di dalamnya terdapat pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik, tertutup, dan KKN yang menimbulkan kemerosotan kehidupan nasional di berbagai kehidupan. 


2. PENGHAPUSAN DOKTRIN DWIFUNGSI ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA (ABRI) 

Urain tentang perkembangan fungsi ABRI sebagai kekuatan sosial politik tidak dapat dilepaskan dari sejarah lahir dan tumbuhnya ABRI dalam perjuangan bangsa Indonesia. ABRI lahir bersama-sama dengan meletusnya rovolusi rakyat, ia lahir dari anak-anak rakyat sendiri. ABRI adalah angkatan bersenjata yang lahir dan tumbuh dengan kesadaran untuk melahirkan kemerdekaan. ABRI pertama-tama adalah angkatan bersenjata perjuangan dan baru setelah itu adalah angkatan bersenjata profesional. Setiap prajurit ABRI pertama-tama adalah pejuang prajurit dan baru kemudian adalah prajurit pejuang. Kelahiran dan pertumbuhan ABRI yang demikian itu membuat ABRI juga berhak dan merasa wajib ikut menentukan haluan negara dan jalannya pemerintahan. Inilah sebab pokok mengapa ABRI memiliki dua fungsi, yakni sebagai kekuatan militer (pertahanan dan keamanan) yang merupakan alat negara, dan sebagai kekuatan sosial politik yang merupakan alat perjuangan rakyat. 

Untuk dapat memahami fungsi sosial politik ABRI dalam konteks kehidupan politik dan ketatanegaraan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka akan diuraikan perkembangan fungsi sosial politik ABRI khususnya dalam kerangka perkembangan kehidupan politik dan kenegaraan bangsa Indonesia, sejak Perang kemerdekaan (1945-1949), zaman demokrasi Liberal (1949-1959), masa demokarasi Terpimpin (1959-1966), masa orde baru (1966-perkembangannya) 


3. PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM, PENGHORMATAN HAK ASASI MANUSIA (HAM), SERTA PEMBERANTASAN KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME (KKN) 

(a) Penegakan Supremasi Hukum 

Salah satu agenda yang diusung oleh gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa adalah tuntutan adanya penegakan supremasi hukum. Tuntutan ini sangat wajar mengingat selama tiga dasawasa sebelumnya supremasi hukum hanyalah menjadi jargon dan retorika yang tidak pernah terealiasi dalam kenyataan. Pada masa orde baru hukum hanya menjadi instrumen bagi penguasa untuk melanggengkan dan melegitimasi kekuasaan serta melindungi birokrasi dan eksekutif yang sangat korup. Ketika itu lembaga-lembaga penegak hukum telah dikebiri dan sepenuhnya dibawah kontrol kekuasaan eksekutif sehingga mereka tidak memiliki kemerdekaan dan independensi, serta tak lepas dari intervensi elit penguasa. 

Lembaga peradilan bukan lagi tempat untuk mendapat keadilan tetapi sebagai pusat jual beli keadilan, setidaknya keadilan hanyalah milik mereka yang memiliki akses karena didukung oleh sumber daya ekonomi, politik, kekuasaan, atau kekerabatan. Pada saat itu simbol keadilan yang dilambangkan oleh Dewi Themis yang tertutup matanya, seolah sudah membuka selubung penutup matanya, sehingga dia dapat membedakaan manakah orang yang berpangkat atau tidak, berduit atau tidak, mana lembar ratusan ribu atau recehan dan sebagainya sehingga keadilan menjadi pilih-pilih dan diskriminatif. 

Dalam penegakan hukum pidana tampak jelas bahwa hukum hanya ibarat “jaring laba-laba” yang hanya mampu menjaring serangga kecil yang tak berdaya, dan jaring hukum itu akan mudah robek dan terkoyak-koyak jika berhadapan dengan binatang yang besar dan kuat. Sekalipun hal itu terkesan sangat menggeneralisasi, namun kebenarannya tidak dapat dinafikan begitu saja. 

Banyak fenomena penegakan hukum yang tidak dapat dicerna oleh rakyat. Setidaknya logika hukum masyarakat sulit menerima jika maling ayam begitu mudah dimasukkan penjara, namun hukum menjadi tidak berdaya ketika berhadapan dengan para terdakwa korupsi kelas kakap hanya karena alasan sakit atau sedang berobat ke luar negeri. Tesis downward law is greater than upward law sebagaimana dinyatakan Donald Black (1989 : 11) menjadi tak terbantahkan. Hukum yang mengarah ke bawah akan lebih besar dibandingkan hukum yang mengarah ke atas. 

(b) Penghormatan Hak Asasi Manusia 

HAM adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1 

Dalam kaitannya dengan itu, maka HAM yang kita kenal sekarang adalah sesuatu yang sangat berbeda dengan yang hak-hak yang sebelumnya termuat, misal, dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika atau Deklarasi Perancis. HAM yang dirujuk sekarang adalah seperangkat hak yang dikembangkan oleh PBB sejak berakhirnya perang dunia II yang tidak mengenal berbagai batasan-batasan kenegaraan. Sebagai konsekuensinya, negara-negara tidak bisa berkelit untuk tidak melindungi HAM yang bukan warga negaranya. Dengan kata lain, selama menyangkut persoalan HAM setiap negara, tanpa kecuali, pada tataran tertentu memiliki tanggung jawab, utamanya terkait pemenuhan HAM pribadi-pribadi yang ada di dalam jurisdiksinya, termasuk orang asing sekalipun. Oleh karenanya, pada tataran tertentu, akan menjadi sangat salah untuk mengidentikan atau menyamakan antara HAM dengan hak-hak yang dimiliki warga negara. HAM dimiliki oleh siapa saja, sepanjang ia bisa disebut sebagai manusia. 

Harus diakui pada masa Orde Baru dari segi pembangunan fisik memang ada dan keamanan terkendali, tetapi pada masa Orde Baru demokrasi tidak ada, kalangan intelektual dibelenggu, pers di daerah di bungkam, KKN dan pelanggaran HAM terjadi di mana-mana . Secara garis besar ada lima keburukan Orde Baru, yaitu: kekuasaan pemerintah yang absolut, rendahnya transparansi pengelolaan negara, lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat, hukum yang diskriminatif, dan dan lemahnya perlindungan HAM. 

i. Kekuasaan Pemerintah Yang Absolut

Suharto, presiden Republik Indonesia ke-2, menduduki tahta kepresidenan Indonesia selama 32 tahun. Itu berarti, Suharto telah memenangkan sekitar enam kali pemilihan umum (Pemilu). Pada waktu itu, kekuasaan Suharto didukung oleh partai Golongan Karya yang dibayang-bayangi oleh Partai Demokasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Tampak jelas dalam pemerintahan Suharto di mana pemerintahan dijalankan secara absolut. Presiden Suharto mengkondisikan kehidupan politik yang sentralistik untuk melanggengkan kekuasaan. Salah satu hak sebagai warga negara untuk mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan menjadi hak yang sulit didapatkan tanpa melakukan kolusi dan nepotisme. 

ii. Rendahnya Transparansi Pengelolaan

Rendahnya transparansi pengelolaan negara juga menjadi salah satu keburukan pemerintahan Orde Baru. Transparansi merupakan bentuk kredibilitas dan akuntabilitasnya. Suatu undang-undang tidak mengikat jika tidak diundangkan melalui lembaran negara. Suatu sidang pengadilan dianggap tidak sah apabila tidak dibuka untuk umum. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga peneliti yang menyangkut kepentingan masyarakat harus dipublikasikan. Pada masa Orde Baru, hak penyiaran dikekang. Berita-berita televisi dan surat kabar tidak boleh membicarakan keburukan-keburukan pemerintahan, kritik terhadap pemerintah, dan berita-berita yang dapat mengganggu stabilitas dan keamanan nasional. 

iii. Keuangan Negara Juga Menjadi Rahasia Internal Pemerintahan.

Hutang negara menjadi terbuka jelas pun saat krisis dunia melanda. Indonesia tidak mampu membayar hutang luar negeri yang bertumpuk-tumpuk. Lebih dari itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang menurun tajam memaksa perusahaan-perusahaan memecat sebagian karyawannya untuk mengurangi biaya produksi. Bahkan, banyak perusahaan tumbang dan gulung tikar karena negara tidak mampu membayar hutang luar negeri. Bila dirunut lebih dalam, semua itu berakar dari rendahnya transparasi pemerintah terhadap masyarakat. 

iv. Lemahnya Fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat

Lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat menjadi salah satu keburukan Orde Baru. Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi semacam boneka yang dikendalikan oleh pemimpin negara. Dalam hal ini, aspirasi-aspirasi dan keinginan rakyat tidak mampu diwujudkan oleh pemerintah. Program-program pemerintah seperti LKMD, Inpres desa tertinggal, dan seterusnya, menjadi semacam program penjinakan yang dilakukan oleh penguasa agar rakyat miskin tidak berteriak menuntut hak-hak mereka. 

v. Hukum Yang Diskriminatif

Hukum yang diskriminatif menjadi keburukan Orde Baru selanjutnya. Hukum hanya berlaku bagi masyarakat biasa atau masyarakat menengah ke bawah. Pejabat dan kelas atas menjadi golongan yang kebal hukum. Hak masyarakat untuk mendapatkan perlakukan yang sama di depan hukum menjadi hal yang sangat langka. Hak asasi sosial dilanggar oleh pemerintah. Beberapa kekurangan sistem orde baru dapat dirangkum dengan enam poin, yaitu:
  • Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme, 
  • Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat, 
  • Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua, 
  • Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya, 
  • Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin), 
  • Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan, 
  • Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel, 
  • Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program “Penembakan Misterius” (petrus), dan 
  • Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya). 
Perlindungan HAM dalam Orde Baru memang dirasa masih lemah. Berita mengenai penembakan misterius terhadap musuh-musuh negara —-termasuk teroris, menjadi catatan hitam Orde Baru. Diskriminasi terhadap hak-hak asasi kaum minoritas dan Chinese pun menjadi pelanggaran HAM yang tidak bisa dilupakan. Meski demikian, Orde Baru memperlihatkan peran yang besar untuk menjaga stabilitas nasional. Stabilitas nasional ini memungkinkan negara untuk menjaga terlaksananya pelaksanaan perlindungan HAM bagi masyarakat. 


4. PEMBERANTASAN KKN

KKN merupakan singkatan dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme. Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar. Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Kita ketahui bersama bahwa pada masa orde baru terjadi KKN tipe akut. KKN terjadi di setiap lini pemerintahan. Soeharto pun sebabagai presiden RI tak berdaya melihat situasi ini dan terkesan melegalkan KKN yang terjadi atas sepengetahuannya. Dalam berbagai kasuspun Soeharto di indikasiakn terlibat dalam kasus tersebut. Kejahatan kemanusian yang terselubung itu selalu menguntungkan anak-cucunya, kerabat dekat Soeharto, orang-orang terdekat Soeharto, dan para konglomerat yang dekat dengan sang presiden. Berikut ini beberapa paparan kasus KKN pada masa ini yang akan saya bahas. 

Kasus ini diduga melibatkan orang dekat keluarga Cendana. Pada akhir 1995, CEPA Internasional berhasil memenangi tender Proyek Listrik Tanjung Jati B senilai US$ 1,77 miliar dan kemudian juga memenangi tender Proyek Listrik Tanjung Jati C dengan cara agak akrobatik. Pada saat memenangi tender anggota konsorsiumnya adalah CEPA Hongkong dan PT International Manufacturing Producer Association (Impa) Energy-milik pelobi ulung Djan Faridz yang dikenal dekat dengan Mbak Tutut (Siti Hadijanti Rukmana) (Rafick,2007:140). Kedekatan Djan Faridz dengan salah satu putri Soeharto dimungkinkan akan mempermudah dia memperoleh proyrek-proyek dari pemerintah. 

Berikut ini kasus yang melibatkan salah satu anggota keluarga Cendana. Sebuah proyek air bersih raksasa Umbulan berkapasitas 4 ribu liter/detik yang ditenderkan sejak 1986 namun terkatung-katung hingga 10 tahun lebih karena soal tarif, akhirnya dapat diperoleh pemenangnya. Diluar dugaan konsorsium Tommy Soeharto (Hutomo Mandala Putra) - raja properti Ciputra berhasil mendapatkan proyek ini. Padahal tarif yang diajukan Rp 888/m3 dan konsensi 25 tahun, jauh diatas tawaran Grup Citra Lamtorogung Persada (CLP) yang meminta konssi 15 tahun, dengan pola BOT (Build Operete & Transfer) mengajukan harga Rp 630/m3 yang dulu ditolak. Padahal PDAM menetapkan angka Rp 618/m3, namun menurut pemerintah mengatakan secara rasional penghitungan konsorsium Tommy memang masuk akal (Rafick,2007:148). Dalam kasus ini dimungkinkan ada KKN dalam proses tendernya. Dikarenakan nilai proyek yang disepakati kedua belah pihak tidaklah rasional. 

Pada 1996, BUMN PT Kertas Leces mengalihkan garapannya dari memproduksi kertas koran ke produksi kertas HVS. Padahal kertas koran memiliki pangsa pasar dan pertumbuhan pasar yang jauh lebuh besar dibanding kertas HVS. Setelah Leces meninggalkan lapangan, Aspex Paper milik Bob Hasan yang notabene orang dekat Soeharto mengambil alih tempatnya, sehingga 80% kebutuhan dalam negeri akan kertas koran kemudian dipenuhi Aspex. Banyak kalangan menduga Leces sengaja mengalihkan bidang garapannya ke HVS, bila tak mau disebut dipaksa, untuk memeberi jalan kepada Aspex menguasai pasar kertas koran (Rafick,2007:153). Peran pemerintah dalam alih jenis produksi Leces dimungkinkan sangat besar. Hal ini karena Bob Hasan memeiliki hubungan baik dengan Soeharto. 

Berikut ini adalah penyalahgunaan Dana Reboisasi (DR) untuk kegiatan di luar reboisasi diperkirakan di atas 2 triliun. Separuh digunakan pengusaha di luar sektor kehutanan. Setengahnya lagi dipakai mendanai proyek Hutan Tanaman Industri (HTI) pulp dan non pulp, termasuk HTI trans. Semuanya berdasarkan Keppres. Dana sebanyak itu tidak semuanya berasal dari DR. Sebagian besar berasal dari bunga jasa giro. Salah satu pengeluaran dana DR diberikan sebesar Rp 250 miliar untuk PT Kiani Kertas (Pabrik Kertasn dan pulp) milik Bob Hasan (Rafick,2007:160). Bau KKN sangat terasa dalam kasus ini. Mungkin ini salah satu bagian terkecil penyelewengan keuangan negara yang dimanfaatkan oleh keluarga dan kroni-kroni Soeharto. 

Ari Sigit, cucu presiden lengser Soeharto misalnya, tercatat mendapatkan dana bujagi (bunga jasa giro) dengan cara halus. Mulanya Dephutbun melalui Keppres diminta menempatkan dana Rp 80 miliar di Bapindo dan BNI untuk jangka waktu 7 tahun. Dana itu kemudian dipinjamkan kedua bank plat merah tersebut kepada Ari Sigit untuk usaha pupuk urea tablet (Rafick,2007:162). Dimungkinkan ini ialah salah satu cara bagi-bagi uang negara untuk keluarganya ala Soeharto diantara puluhan kasus lainnya.. 

Adanya skandal Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia) tahun 1993. Yaitu dengan kredit sebesar Rp 1,3 triliun yang dikucurkn kepada seorang pengusaha bernama Eddy Tansil, adik kandung Hendra Rahadrja (pemilik Bank Harapan Sentosa yang sudah collapse). Kasus ini sangat menghebohkan karena menyeret sejumlah pejabat tinggi, termasuk Sudomo (orang kepercayaan Soeharto) yang pernah menjadi Kopkamtib (Lesmana,2009:58). Sudomo sebagai orang terdekat Soharto tidak akan mungkin terseret dalam kasus tersebut. Hal itulah ciri khas hukum ala Soeharto, orang-orang terdekatnya pasti akan aman. 

Dari kasus-kasus yang telah diuraikan tadi nampak jelas bahwa masa Orde Baru sangat buruk dalam sistem pemerintahannya. Presiden Soharto nampaknya telah merestui adanya KKN tersebut. Ini dibuktikan dengan makin merajalelanya KKN dari tahun ketahun di masa Orde Baru. Walaupun ada upaya pemberantasan KKN, tapi koruptor-koruptor yang dekat dengan kekuasaan tampaknya tak pernah disentuh sama sekali. 


5. DESENTRALISASI DAN HUBUNGAN YANG ADIL ANTARA PUSAT DAN DAERAH (OTONOMI DAERAH)

Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. otonomi merupakan suatu bentuk penyosial yang di selenggarakan pemerintahan dengan menggunakan dan memanfaatkan seluruh potensi yang ada di daerah untuk dapat dipergunakan seoptimal mungkin untuk pembangunan kesejahteraann daerah tersebut. 

Hak-hak dan kewenangan daerah untuk meregulasi, mengatur dan menetapkan segala bentuk kebikajakan sendiri tanpa harus sentralistik dan mengacu kepada kebijakan yang lainnya. 

Otonomi dengan kekuatan yang memenuhi segala aspek, baik ekonomi,social dan politik akan membawa masyarakat kepada kesejahteraan hidup, karena pemrintah akan lebih cepat menemukan berbagai permasalahan sekaligus pemecahannya. 

Pada masa orde baru, Kehadiran UU No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan daerah diyakini akan mampu menciptakan stabilitas daerah, dengan demikian eksekutif diberi kewenangan yang sangat besar sebagai penguasa tunggal di daerah. Walupun demikian UU tersebut dinyatakan bahwa pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD, akan tetapi tidak ada keseimbangan sama sekali, sebab di pemerintahan pusat dan daerah saat itu hanya merupakan tukang stempel untuk kepentingan eksekutif. 

Pemilihan kepala daerah yang dilakukan DPRD adalah retorika belaka, sebab siapa yang harus jadi telah ditetapkan sebelumnya termasuk siapa mendapatkan berapa suara. Apabila skenario tidak berhasil, dan calon yang diunggulkan ternyata tidak terpilih, maka pemerintah pusat akan dengan mudah memilih/mengangkat kembali orang yang telah diproritaskan tersebut, sebab hasil pemilihan DPRD kemudian diajukan kepada pusat, and pusat bebas menentukan siapa yang akan dilantik dari hasil usulan/hasil pemilihan tersebut (Pasal 15 UU No. 5 tahun 1974). 

Jadi otonomi yang nyata dan bertanggung jawab sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 5 Tahun 1974 dalam pasal 11 hanya merupakan retorika belaka, sebab sampai UU No. 5 tahun 1974 dicabut, tidak pernah ada peraturan pelaksanaannya. Pemerintah orde baru memang pernah mengadakan otonomi percontohan atau lebih tepatnya uji coba penerapan otonomi daerah yang dilaksanakan pada satu daerah kabupaten/kota pada masing-masing propinsi. Program tersebut gagal total, karena memang semangat orde baru bukan untuk mengadakan otonomi daerah, tetapi strategi yang matang agar ada alasan kuat untuk tetap menerapkan sentralisasi kekuasaan atau pemerintahan daerah. Kegagalan otonomi percontohan ala orde baru tersebut disinyalir karena pemerintah pusat hanya memberikan kewenangan yang sebesar-besarnya tetapi tidak memberikan uang, alat dan aparat. Istilah yang berkembang saat itu adalah ‘kepala dilepas akan tetapi ekor ditahan’. 

Pemerintah order baru tidak akan mau memberikan otonomi daerah, sebab memberikan otonomi berarti membagi kekuasaan sedangkan pembagian kekuasaan akan menyebabkan kekuasaan akan berkurang dan berkurangnya kekuasaan akan menyebabkan berkurangnya wibawa pemerintahan pusat yang kemudian akan menyebabkan terjadinya pembangkangan pemerintah daerah yang jauh dari kekuasaan pemerintah pusat. 



6. MEWUJUDKAN KEBEBASAN PERS

Pada masa orde baru, yakni masa pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Pada saat itu pemerintah seolah mengatakan bahwa system pers Indonesia adalah system pers liberal. Esensi dasar system ini memandang manusia mempunyai hak asasi dan meyakini bahwa manusia akan bias mengembangkan pemikirannya secara bijak jika diberi kebebasan. Euforia akan kebebasan pun melanda masyarakat Indonesia saat itu. Masyarakat membayangkan kebebasan berpendapat dalam hal ini pers, terbuka lebar dan diharapkan akan mengubah keterpurukan akibat pemerintahan orde lama. Berbagai aspek seperti ekonomi, politik, budaya, dan psikologis rakyat mulai dipulihkan. Presiden Soeharto menggerakkan pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan yakni stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. 

Namun, kebebasan Pers dianaktirikan oleh pemerintah saat itu. Janji-jani awal tentang kebebasan pun hanya janji. Pada posisi ini pers mendapatkan begitu banyak tekanan dari pemerintah. Keberadaan pers atau media dikuasai penuh oleh pemerintah. Ini dikarenakan system pemerintahan orde baru yang otoriter. Tidak heran system pers Indonesia saat itu pun berbau otoriter bias dikatakan system pers pada masa orde baru adalah system pers otoriter. 

Teori ini dikenal sebagai system yang paling tua karena dimulai pada masa pemerintahan absolut. Pers dalam system ini berfungsi sebagai penunjang Negara untuk memajukan rakyat. Media dikuasai penuh sekaligus diawasi oleh pemerintah. Berbagai informasi yang akan diberitakan dikontrol oleh pemerintah karena kekuasaan yang mutlak. 


7. MEWUJUDKAN KEHIDUPAN DEMOKRASI

Budaya demokrasi sudah dilaksanakan oleh nenek moyang kita sejak lama. Semua masalah senantiasa dimuyawarahkan sehingga permasalahan yang dihadapi dapat terpecahkan dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan adanya musyawarah dan mufakat untuk mengambil keputusan. 

Sepanjang masa kemerdekaannya, bangsa Indonesia telah mencoba menerapkan bermacam-macam demokrasi. Hingga tahun 1959, dijalankan suatu praktik demokrasi yang cenderung pada sistem Demokrasi Liberal, sebagaimana berlaku di negara-negara Barat yang bersifat individualistik. 

Pada tahun 1959-1966 diterapkan Demokrasi Terpimpin, yang dalam praktiknya cenderung otoriter. Mulai tahun 1966 hingga berakhirnya masa Orde Baru pada tahun 1998 diterapkan Demokrasi Pancasila. Model ini pun tidak mendorong tumbuhnya partisipasi rakyat. Berbagai macam demokrasi yang diterapkan di Indonesia itu pada umumnya belum sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, karena tidak tersedianya ruang yang cukup untuk mengekspresikan kebebasan warga negara. 

Berdasar pengalaman sejarah, tidak sedikit penguasa yang cenderung bertindak otoriter, diktaktor, membatasi partisipasi rakyat dan lain-lain. Mengapa demikian? Ya, sebab penguasa itu sering merasa terganggu kekusaannya akibat partisipasi rakyat terhadap pemerintahan. Partisipasi itu dapat berupa usul, saran, kritik, protes, unjuk rasa atau penggunaan kebebasan menyatakan pendapat lainnya. Sesudah bergulirnya reformasi pada tahun 1998, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan memilih, kebebasan berpolitik dan lain-lain. 

LATAR BELAKANG TUNTUTAN REFORMASI DAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945