AKHIR-akhir ini nama Tifatul Sembiring cukup ramai dibicarakan oleh komunitas pengguna Blackberry, tak lain adalah karena 'ancaman maut'-nya untuk menutup layanan komunikasi yang disediakan oleh Research In Motion (RIM) tersebut.
Dengan dalih untuk memberantas pengaruh buruk pornografi dan demi penegakan hukum pidana, maka Tifatul Sembiring menggunakan wewenangnya sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika untuk mendesak RIM untuk memblokir konten porno serta mendirikan server-nya di Indonesia.
Dalam kesempatan ini, penulis akan mempersempit topik penulisannya, dengan pembahasan yang terkait dengan penggunaan blackberry untuk melakukan tindak pidana dan perlindungan terhadap privasi individu.
Dalam salah satu berita di sebuah situs pada hari Senin, tanggal 17 Januari 2011 terdapat salah satu judul yang cukup menarik untuk dicermati, yaitu "Anggota DPR takut disadap, jika blackberry ditutup". Lantas yang menjadi pertanyaan adalah, benarkah Blackberry acapkali digunakan sebagai sarana untuk melakukan kejahatan?
Saat ini Blackberry termasuk dalam kategori 'ponsel pintar' (smartphone) yang memiliki kecanggihan mutakhir dan tingkat privasi yang cukup tinggi dalam berkomunikasi yaitu melalui aplikasi Blackberry Messenger (BBM) sehingga saking eksklusifnya, BBM tersebut seringkali digunakan untuk melakukan kejahatan serius seperti halnya permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, transaksi narkoba bahkan untuk jaringan terorisme.
Lalu apakah gebrakan pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika, khususnya dalam mendesak RIM untuk mendirikan servernya di Indonesia guna mengungkap tindak pidana serius (serious crime) yang sudah terorganisir dengan rapi merupakan tindakan yang efektif? Jawabannya adalah belum cukup efektif, sebab nantinya pemerintah akan terganjal dengan dengan peraturan hukum yang saling tumpang tindih dan tidak bersinergi serta keberadaan Hak Asasi Manusia (HAM).
Memang benar bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Narkotika dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional dan termasuk juga POLRI untuk melakukan penyadapan dalam pengungkapan tindak pidana tersebut. Namun ketentuan hukum acara pidana untuk melaksanakan penyadapan itu sendiri ternyata belum ada/belum diatur, hal tersebut tentunya sangat berpotensi timbulnya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dari aparat penegak hukum dalam 'menegakkan hukum'. Hal tersebut semata-mata adalah karena belum adanya payung hukum yang cukup menaungi penegakkan ketiga Undang–Undang tersebut di atas.
Satu hal yang tidak pernah boleh kita lupakan adalah 'Tegakkanlah hukum dengan tidak melanggar hukum'. Penyadapan yang selama ini sudah dilakukan belum mempunyai payung hukum untuk membatasi dan mengaturnya, padahal Penyadapan merupakan kategori upaya paksa (dwang middelen), yang sama dengan penangkapan, penahanan dan penyitaan (vide KUHAP), yang seringkali bersentuhan dengan HAM dari setiap individu yang harus dihormati. Dalam hal ini, tentunya tidak ada seorang pun yang ingin Blackberry-nya disadap secara sembarangan, tanpa ada batas waktu, dan tanpa bukti permulaan yang cukup.
Celakanya, Depkominfo justru 'latah' dengan mengeluarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur tentang intersepsi (penyadapan) dengan dalih mengemban perintah UU No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, padahal penyadapan yang merupakan upaya paksa (dwang middelen) hanya boleh dijalankan dengan kekuatan Undang-Undang, bukan dengan peraturan di bawah Undang-Undang (vide pasal 285 KUHAP).
Urgensi direvisi dan diperbaharuinya KUHAP sebagai hukum acara pidana pun sangat dinanti-nantikan masyarakat, sehingga dengan adanya ketentuan hukum acara yang jelas dan terang mengatur dan membatasi penyadapan, maka pengguna Blackberry maupun smartphone lainnya akan mendapat perlindungan hukum untuk privasi dan hak asasi mereka dalam berkomunikasi.
Sumber: www.okezone.com