Bila kita melihat ke langit pada malam yang cerah, terlihat diantara bintang-bintang ruang kosong yang gelap. Sejak abad ke 18, para astronom bertanya-tanya, apakah alam semesta sebagian besar terdiri dari ruang kosong seperti itu?. Namun di awal abad ke 20, para astronom menemukan bukti, bahwa ruang gelap di alam semesta itu adalah kumpulan debu kosmis raksasa. Debu ini menghalangi pancaran bintang-bintang yang jauh di pinggiran alam semesta. Juga ukuran debu ini amat kecil, dengan diameter hanya 0,2 mikrometer. Memang hingga tahun 50-an, debu kosmis ini menjengkelkan para astronom,
karena sering menghalangi penelitian bintang-bintang yang jauh. Namun setelah mengukur sebaran serta perkiraan volumenya, ditarik hipotesis debu mikro inilah yang menentukan terbentuknya galaksi serta bintang di alam semesta. Prof. Mayo Greenberg, kepala laboratorium astrofisika di Universitas Leiden, Belanda bersama seorang mahasiswanya, Aigen Li mengembangkan teori yang disebut "model persamaan debu kosmis". Disebutkannya, memang terdapat model persamaan yang dikembangkan para ahli lainnya. Namun yang dikembangkan Greenberg dan Li, dianggap yang paling mendekati gambaran alam semesta sebenarnya. Setiap butiran debu kosmis, merupakan inti padatan mikro. Biasanya diselubungi es dan material organik. Akan tetapi bagaimana terbentuknya dan dari mana asal muasal debu kosmis ini. Sebab menurut teori astronomi atau astrofisika, alam semesta ini pada awalnya bebas debu. Sekitar 15 milyar tahun lalu, semua galaksi muda hanya terdiri dari hidrogen, helium dan sebagian kecil elemen ringan yang terbentuk pada saat dentuman besar. Pada saat itu hanya awan hidrogen dan helium yang bisa bertumbukan dan membentuk galaksi. Pada awal terbentuknya alam semesta, galaksi-galaksi hanya terdiri dari bintang-bintang tipe O dan B, yang kecemerlangannya amat tinggi. Namun setelah masa kehidupan yang relatif pendek, yakni hanya beberapa juta tahun, bintang-bintang tsb mati dan meledak menjadi Supernova. Letusan Supernova inilah yang menciptakan debu kosmis pertama di alam semesta. Para astronom masih dapat melihat pertandanya, pada galaksi-galaksi muda. Lima milyar tahun kemudian, gelombang ledakan Supernova surut. Munculah bintang-bintang bermassa ringan yang disebut bintang raksasa merah. Bintang ini kemudian membesar dan mendingin. Pada fase mendingin itulah, di atmosfirnya terbentuk partikel silikat, yang tertiup kemana-mana di alam semesta. Tabrakan partikel silikat dengan gas, membentuk inti silika dan mantel gas beku di luarnya. Dalam kondisi terus mendingin, tekanan gas di dalam kumpulan awan partikel terus menurun. Tercipta gaya tarik yang menyedot awan partikel menjadi gugusan bintang-bintang kecil semacam matahari. Jika gaya tariknya membesar, partikel silika serta unsur-unsur lainnya disedot oleh bintang, atau menjadi unsur pembentuk bintang dan galaksi. Sebagian besar sisa debu kosmis yang tidak tersedot, akan dihembuskan ke alam semesta. Debu antar bintang ini kemudian mengalami siklus, terbentuk, bergabung dan kembali dimusnahkan. Sejak tiga dasawarsa lalu, pembentukan partikel silikat ini sudah dibuat modelnya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana mekanisme pembentukan molekul organik dari partikel silikat, es dan unsur lainnya. Prof Greenberg memperkirakan, pancaran sinar Ultra Violet-lah yang memainkan peranan amat menentukan. Dengan bantuan sinar ultra violet, molekul air, amoniak dan methan berubah menjadi radikal bebas, yang merupakan bentuk awal molekul organik seperti formaldehida. Keberuntungan rupanya berpihak kepada tim peneliti Prof.Greenberg. Suatu hari di akhir tahun 80-an, Gerda Horneck, pakar astrobiologi dari lembaga penerbangan dan ruang angkasa Jerman, menawarkan peluang untuk melakukan percobaan di ruang angkasa dalam missi Eureka. Terbukti, setelah 4 bulan terkena pancaran sinar ultra violet di ruang angkasa bahan ujicoba organik yang dibawa berubah warna menjadi kecoklatan. Penelitian menggunakan spektrometer inframerah membuktikan spektrum absorpsi cahaya bahan ujicoba, identik dengan spektrum debu antar bintang