BANYAK sekali komentar pada tayangan atau situs berita tentang cara mengagumkan masyarakat Jepang yang begitu tenang menghadapi bencana besar di negaranya. Rasanya, banyak hal bisa Indonesia pelajari dari Jepang.
Jepang menghadapi musibah luar biasa, mulai dari gempa bumi, tsunami, dan sekarang bahaya nuklir di tengah cuaca dingin dan salju. Krisis, bencana, dan bagaimana kita menanggapinya benar-benar mengungkapkan siapa kita dan bagaimana kita memandang dunia.
Perasaan vs peluapan
Sebagian besar pengamat heran dengan emosi manusia, bagaimana mereka merasakan dan menampilkannya. Peluapan emosi di Barat terasa berbeda dengan ala Timur. Orang yang tinggal di Barat cenderung meluapkan emosi secara ekspresif dan membesar-besarkan ketimbang orang Timur. Alasannya, emosi yang tidak diluapkan bisa memicu depresi.
Orang Timur seperti Jepang memiliki tradisi budaya yang sangat panjang untuk mengekspresikan perasaan mereka secara halus. Menghadapi bencana, mereka begitu tenang dan tindakannya jauh lebih efektif dan efisien, memungkinkan mereka untuk berkonsentrasi pada aktivitas lain yang lebih penting.
Mereka mengungkapkan kemarahan dan kesedihan mendalam secara hati-hati. Emosi seperti ini dilihat sebagai kecerdasan emosi internal, lebih dari mengharapkan orang lain untuk menanggapi. Demikian seperti dilansir dari Health24, Rabu (23/3/2011).
Membaca emosi
Tampaknya, ada perbedaan signifikan dalam bagaimana masyarakat Barat "membaca" wajah orang Jepang, dan sebaliknya. Orang Barat lebih melihat ekspresi wajah sedangkan orang Jepang lebih fokus pada suara. Mungkin bagi orang Jepang untuk menyembunyikan emosi negatif dengan tersenyum, agar tidak terbaca lewat suara.
Kesiapan mengagumkan
Ketahanan dalam krisis juga merupakan kultur Jepang. Jepang adalah negara yang berisiko tinggi gempa bumi dan bencana, tapi mereka memiliki sejarah panjang penderitaan musibah dan kemampuan untuk bangkit kembali. Sebuah gempa 1923 yang melanda Tokyo, dengan sekira 142.000 menjadi korban, bahkan lebih besar dari korban tewas akibat bom atom Hiroshima dan Nagasaki.
Kesiapan terhadap situasi darurat telah mendarah daging hingga melahirkan taktik yang telah menjadi kebiasaan. Orang Jepang selalu membawa alat pertolongan pertama dan selalu memakai pelindung kepala di kantor maupun rumah mereka. Bahkan, sebuah aplikasi iPhone terbaru memiliki fitur peringatan gempa, perkiraan waktu, dan keparahannya. Mereka sebisa mungkin mempersiapkan diri untuk menghindari kepanikan bencana.
Kemungkinan dampak kerusakan
Kerusakan fisik jelas terlihat, tapi yang lebih dikhawatirkan adalah dampak psikologis akibat trauma yang biasanya lebih serius dan langgeng. Sekira sepertiga orang cenderung mengatasinya cukup baik, sepertiga berperilaku menakjubkan, dan sepertiga lainnya butuh bantuan psikologis yang signifikan.
Seorang spesialis trauma yang berbasis di Amerika serikat menegaskan, trauma biasanya dirasakan wanita dewasa yang cenderung melakukan hal buruk. Terutama, selain harus melihat diri sendiri, mereka juga harus merawat anak-anak, suami, dan orangtua. Orang yang lebih tua, meski diperkirakan akan lebih terganggu karena kehilangan lingkungan, justru cenderung lebih melakukan hal baik. Sementara, anak-anak cenderung melewatinya dengan baik selama lingkungan keluarga juga kondusif, seperti halnya remaja.
Tradisi dan kepribadian nasional
Keyakinan dan filsafat orang Jepang cenderung untuk menerima bahwa musibah adalah hal yang tidak dapat dihindari, dan meskipun mengerikan, mereka tidak menyalahkan siapapun, baik Tuhan atau pemerintah. Kepribadian yang terbangun adalah perilaku yang tenang, santun, sopan, menghormati otoritas, dan kepatuhan terhadap aturan.
Secara sosial, orang Jepang mengembangkan budaya, seperti sikap tabah, tertib, kerendahan hati, dan tidak mengekspresikan emosi. Maka tak heran bila dalam keadaan darurat, rakyat Jepang masih terlihat damai, patuh, dan mampu bangkit.
Jepang menghadapi musibah luar biasa, mulai dari gempa bumi, tsunami, dan sekarang bahaya nuklir di tengah cuaca dingin dan salju. Krisis, bencana, dan bagaimana kita menanggapinya benar-benar mengungkapkan siapa kita dan bagaimana kita memandang dunia.
Perasaan vs peluapan
Sebagian besar pengamat heran dengan emosi manusia, bagaimana mereka merasakan dan menampilkannya. Peluapan emosi di Barat terasa berbeda dengan ala Timur. Orang yang tinggal di Barat cenderung meluapkan emosi secara ekspresif dan membesar-besarkan ketimbang orang Timur. Alasannya, emosi yang tidak diluapkan bisa memicu depresi.
Orang Timur seperti Jepang memiliki tradisi budaya yang sangat panjang untuk mengekspresikan perasaan mereka secara halus. Menghadapi bencana, mereka begitu tenang dan tindakannya jauh lebih efektif dan efisien, memungkinkan mereka untuk berkonsentrasi pada aktivitas lain yang lebih penting.
Mereka mengungkapkan kemarahan dan kesedihan mendalam secara hati-hati. Emosi seperti ini dilihat sebagai kecerdasan emosi internal, lebih dari mengharapkan orang lain untuk menanggapi. Demikian seperti dilansir dari Health24, Rabu (23/3/2011).
Membaca emosi
Tampaknya, ada perbedaan signifikan dalam bagaimana masyarakat Barat "membaca" wajah orang Jepang, dan sebaliknya. Orang Barat lebih melihat ekspresi wajah sedangkan orang Jepang lebih fokus pada suara. Mungkin bagi orang Jepang untuk menyembunyikan emosi negatif dengan tersenyum, agar tidak terbaca lewat suara.
Kesiapan mengagumkan
Ketahanan dalam krisis juga merupakan kultur Jepang. Jepang adalah negara yang berisiko tinggi gempa bumi dan bencana, tapi mereka memiliki sejarah panjang penderitaan musibah dan kemampuan untuk bangkit kembali. Sebuah gempa 1923 yang melanda Tokyo, dengan sekira 142.000 menjadi korban, bahkan lebih besar dari korban tewas akibat bom atom Hiroshima dan Nagasaki.
Kesiapan terhadap situasi darurat telah mendarah daging hingga melahirkan taktik yang telah menjadi kebiasaan. Orang Jepang selalu membawa alat pertolongan pertama dan selalu memakai pelindung kepala di kantor maupun rumah mereka. Bahkan, sebuah aplikasi iPhone terbaru memiliki fitur peringatan gempa, perkiraan waktu, dan keparahannya. Mereka sebisa mungkin mempersiapkan diri untuk menghindari kepanikan bencana.
Kemungkinan dampak kerusakan
Kerusakan fisik jelas terlihat, tapi yang lebih dikhawatirkan adalah dampak psikologis akibat trauma yang biasanya lebih serius dan langgeng. Sekira sepertiga orang cenderung mengatasinya cukup baik, sepertiga berperilaku menakjubkan, dan sepertiga lainnya butuh bantuan psikologis yang signifikan.
Seorang spesialis trauma yang berbasis di Amerika serikat menegaskan, trauma biasanya dirasakan wanita dewasa yang cenderung melakukan hal buruk. Terutama, selain harus melihat diri sendiri, mereka juga harus merawat anak-anak, suami, dan orangtua. Orang yang lebih tua, meski diperkirakan akan lebih terganggu karena kehilangan lingkungan, justru cenderung lebih melakukan hal baik. Sementara, anak-anak cenderung melewatinya dengan baik selama lingkungan keluarga juga kondusif, seperti halnya remaja.
Tradisi dan kepribadian nasional
Keyakinan dan filsafat orang Jepang cenderung untuk menerima bahwa musibah adalah hal yang tidak dapat dihindari, dan meskipun mengerikan, mereka tidak menyalahkan siapapun, baik Tuhan atau pemerintah. Kepribadian yang terbangun adalah perilaku yang tenang, santun, sopan, menghormati otoritas, dan kepatuhan terhadap aturan.
Secara sosial, orang Jepang mengembangkan budaya, seperti sikap tabah, tertib, kerendahan hati, dan tidak mengekspresikan emosi. Maka tak heran bila dalam keadaan darurat, rakyat Jepang masih terlihat damai, patuh, dan mampu bangkit.
Sumber: www.okezone.com